Sabtu, 21 Juli 2012

Rangkaian Sebuah Perjalanan

Langit masih merancang sebuah perjalanan singkat setiap manusia. Sebuah perantauan jauh dan melelahkan yang ada pada qolbu setiap insan dengan penuh keluh dan kesah. Menanti sebuah jawaban yang tak terduga bersama dengan teka-tekinya. Kadang-kadang memberikan tamparan wajah-wajah setiap manusia yang tidak bersalah, kadang-kadang juga memberikan sebuah cerita indah tiada tara dengan penuh haru. Langit yang warnanya masih membiru, terbentang luas mengikuti setiap langkah para perantau. Entah itu pagi, siang, sore ataukah malam. Langit masih tetap akan menjadi saksi sebuah perjalanan para perantau. Menemani pencarian sebuah teka-teki jawaban hasil dari sebuah tindakan.



Gelapnya sebuah pemandangan tidak membuat seorang laki-laki asal Boyolali, jawa tengah ini bermalas-malasan dengan gemerlap bintang-bintang Surabaya yang menggiurkan. Gelap yang semakin menjadi dengan angin malam yang tak lagi bersahabat masih menyelimuti tubuh laki-laki dewasa ini. Sebuah tanggungjawab yang ia bawa, tak lagi dapat membuatnya tenang menjalani hidup. Terlebih sebuah pertanyaan besar yang mendalam pada lubuk hatinya masih saja tak terjawabkan.

Jam kota berdentang cukup keras, dan hal tersebut cukup pula membuatnya terkaget-kaget akan keajaiban sebuah kota yang magic. Ia masih tercengang memandangi bangunan-bangunan yang menjulang tinggi, warna-warni lampu yang bertaburan di langit-langit dan para muda-mudi yang masih senang membuat sandiwara dengan para kekasihnya. Batin nya serasa kebingungan. "malam-malam begini, dunia kota masih seperti siang... benar-benar kota magic", gumamnya.



Sambil berjalan perlahan mencari sebuah alamat rumah, perjaka itu masih saja memperhatikan setiap apa yang ada di depan matanya. Tanggung jawabnya sebagai seorang anak pertama mengantarkannya kepada sebuah kota pahlawan yang sering membabibutakan setiap insan untuk selalu menguras hidupnya. Mencari recehan-recehan uang, mengumpulkannya dan .... entahlah untuk apa uang tersebut. Lelaki yang umurnya mungkin hampir sama seperti anak-anak SMA yang baru lulus dari sekolahnya merasakan kegalauan yang merasuki hatinya. Niatnya untuk membuat usaha di kampung halamannya pun sirna ketika ayahnya memintanya untuk merantau ke sebuah kota pahlawan. Menjajakan tenaga dan waktu untuk mencari sesuap nasi bersama salah satu sanak keluarga yang ada di Surabaya. Keinginannya kini harus tergadaikan oleh sebuah perintah sang ayah untuk pergi merantau, mencoba memperbaiki perekonomian keluarga.

Badannya masih tegap, jalannya masih cepat, matanya pun masih bersih dari polusi udara. Lalu mengapa ia tak meneruskan pendidinkannya. Jadi wong(orang) tinggi, toh jiwanya masih utuh. Badannya masih seperti ayam jago. Pikirannya pun masih bisalah diarahkan pada pemikiran yang lurus dan baik. Ternyata semudah itu. Perjaka yang kali ini berbeda. Semua keinginannya ia kesampingkan karena terdapat satu hal yang tak dapat ia tahan lagi. Satu hal yang tak dapat lagi ia kesampingkan, yaitu sebuah permintaan orang tuanya untuk merantau. Sebuah linangan air mata sang ibu yang berani melepaskan sulungnya pergi merantau. Tatapan-tatapan lugu empat adiknya yang memiliki keinginan bersekolah tinggi. Sebuah impian dan cita-cita adiknya yang hampir selalu ia dengar sebelum mereka terlelap. Terlebih perekonomian keluarga yang hanya cukup untuk makan. Meski tanah luas, empat sapi yang gemuk-gemuk dan sawah yang subur dimiliki oleh keluarganya. Tetap, rasanya tak akan mungkin menjual mereka. Harus berpikir dua kali untuk menjual peninggalan mendiang kakeknya. Ayahnya memilih untuk mengolah mereka semua sebisanya, agar ke empat adiknya bisa sekolah tinggi.



Bukan karena pilih kasih, Perjaka tersebut juga tak kalah cerdas. Di terima di perguruan tinggi negeri Surabaya sudah tak lagi menjadi hal yang menggembirakan untuk keluarganya. Terbayang harapan duduk bersama kawan-kawan kuliahnya terhapus dengan biaya hidup kota Surabaya yang tak kalah tingginya. Bea Siswa yang ia dapat pun juga sudah tak lagi membuatnya tertarik , ketika ia menatap wajah ayah dan keempat adiknya. Terlebih ibunya yang masih selalu tersenyum dan menyembunyikan air mata di sudut kelopak matanya ketika ayahnya menyuruhnya untuk merantau. Inilah seorang perjaka itu. Dengan pengetahuan seadanya, mencari sebuah alamat di tengah waktu.

Sebuah tanggung jawab besar yang membuatnya tak berani membantah apa yang diminta ayahnya. Hanya ada dua pilihan. Kuliah ataukah Bekerja. Keduanya sama - sama berada di kota pahlawan. Kota yang masih begitu asing bagi perjaka ndeso berseragamkan jaket coklat yang merapat ditubuhnya. Ia menganggap bahwa ia butuh uang dalam waktu jangka pendek ini. Akhirnya tak dapat ia tolak lagi, Perjaka ini harus bekerja. Itulah kata sang langit yang secara tidak langsung terbenam pada pikirannya. Sedih karena tak lagi membentangkan sayap di dunia pendidikan. Merana dengan sangat ketika ia harus melepaskan segenap kesempatan yang jarang orang mendapatkannya. Batinnya benar-benar ingin meneriakkan sesuatu pada sang Khaliq, tapi masih tak dapat ia uraikan. Terpendam dengan sangat rapi di lubuk hati yang paling dalam. Hingga akhirnya hanya tetesan air mata lah yang dapat mengekspresikan lelahnya langkah, terkulainya batin dan merangkaknya sebuah tulang. Perjaka oh Perjaka...



Pencarian alamat kakak ayahnya , membuatnya harus menyusuri gang-gang kecil, disebelahnya terdapat kali yang lumayan besar dengan aroma yang sangat menyengat hidung. Tampak rumah-rumah susun yang kecil dan hanya sebuah lampu persegi panjang menerangi secuil langkah perjalanannya. Hingga sampailah ia pada bentangan sawah yang luas. Ia terdiam. Bukan karena lelah langkah kakinya. Tapi batinnya yang tak lagi bisa membendung dan menahan berjuta impian yang menjadi rangkaian-rangkaian maya yang mungkin tak akan menjadi sesuatu yang nyata. Hingga akhirnya, pada titik kelemahannya ia teriakkan serentetan kalimat yang mungkin langit pun bergemetar mendengarnya. "Gusti jika ini jalanku, tunjukkan kuasaMu. Hamba berada pada dua pilihan yang keduanya benar. Bila keputusan yang kuambil adalah benar, jangan biarkan tangis ku menjadi Gusti... Hamba hanya ingin mendapatkan ridhoMu dan ridho Orangtua Hamba... Bila memang nantinya impianku tak tersampai hingga ajalku menjemput. Biarlah orangtuaku, adik-adikku dan orang-orang yang aku cintai bangga terhadapku karena aku melakukan sesuatu yang Engkau ridhoi," Teriak perjaka itu selantang-langtangnya. Angin pun serasa iba melihat perjaka itu terduduk lesu dengan air mata terurai setelah ia berdiri dengan tegapnya. Dedaunan pagi seakan menjadi salju bagi dinginnya hari seorang perjaka saat itu. Tapi ketahuilah, ada satu hal yang mempesona darinya. Ada satu hal yang sangat mengkilaukan sanubarinya, yaitu sebuah prasangka yang tak pernah buruk akan tuhan yang ia percayai dan doa orangtuanya yang sampai saat ini, keringat mereka ia rasakan pada setiap darah yang mengalir pada tulang-belulang tubuhnya. SubhanaAlah..