Selasa, 26 Juni 2012

Ketika Cinta Menyapa

Kesempatan Terindah

Bersama angin yang melayang saat ini, ingin ku berikan sedikit rasa yang telah kurasakan di setiap nikmat yang Dia beri untuk ku. Ketika aku berjalan, aku harus berpikir, inikah langkah ku?? aku mencoba melangkah melewati malam kali ini sendiri. Hanya untuk mendapatkan kenyamanan di keheningan malam dan menuliskan semua yang ingin aku letakkan pada setiap paragraf blog ku.

Malam ini sengaja ku luangkan waktu untuk merasakan keindahan malam kota Surabaya. Aku segera memarkir motor dan melangkah dengan seperangakat laptop yang sudah kusiapkan segala sesuatunya. Masih menyala lampu-lampu menghiasi pinggir jalan ini, masih terdengar bising motor berkeliaran dan masih terdengar bunyi klakson mobil yang saling bersautan. Tak jarang setiap lima belas menit datang anak - anak kecil menghampiriku. Menyanyikan sebuah lagu dewasa dan pergi mengaharapkan uang receh berapa pun banyaknya. Kupandangi satu persatu mentari mungil itu, membagi kebahagian keindahan suara mereka. Ya inilah kota Surabaya di malam hari ini.

Kali ini saya mencoba duduk di salah satu barisan tempat duduk yang tidak ramai. Jauh dari kericuhan pemuda-mudi melepas kerinduan bersama kekasihnya. Tempat yang begitu teduh dan tenang yang telah aku temukan di tempat itu. Kupandangi setiap hiasan alam luar biasa yang telah Allah persiapkan malam ini. Kini mataku sedang terpesona dengan keindahan air yang bermuara dari air mancur itu. Pas dibawah kaki saya, kini air itu sedang berlarian mengejar angin, tidak sedikit yang memainkan suara gemuruh air tersebut dari pancuran. Pemandangan air kali ini  indah sekali. Terpantul setiap cahaya bintang yang menyala-nyala. Terbayang bentangan langit yang begitu kokohnya dan  Tergambar tiap lekuk keindahan alam yang sempat terukir pada lembutnya air malam itu.

Kini mulai kulihat gambar tubuhku di air yang jernih itu. Tak sempat terbayangkan, aku berkaca dengan genangan air mancur. Menemani di setiap keheningan ku dalam kesendirian. Ku tatap wajahku lekat-lekat, kini ku mulai bergumam sendiri.. terlalu banyak kata-kata yang ingin ku ucapkan.. tapi tak tahu mengapa aku hanya mengatakan, " Aku cantik ". Lagi-lagi aku mengingatnya,, seorang ikhwan yang sempat menaruh perhatianku.. ikhwan yang slalu mengobarkan semangatnya kepada semua orang yang pernah ia temui. Laki-laki yang selalu berusaha menjadi yang terbaik hingga saat ini. Terbaik bagi orang-orang yang pernah ia temui, begitupun terbaik untuk ku saat ini.. Alhamdulilah.. inikah nikmat cinta yang telah Engkau beri Rab?? Inikah tautan cinta yang telah Kau janjikan pada setiap insan di bumi ini? Sebuah rasa ketertarikan yang lautan pun tak habis berbicara tentang rasa dan mulut pun sulit untuk mengucapkan segala keindahannya.

Tapi ketahuilah.. inilah yang membuat saya bingung dan galau. Wah anak muda jaman sekarang ya... apa saja selalu dipikirkan. dan Alhasil saya disebut "Ababil" dengan teman-teman. Singkatan dari ABG labil. Begini biarlah aku luruskan apa maksud hati ku saat ini.

Kini mulai kupejamkan mata ku barang sebentar. Aku ingat apa yang pernah ayah dan ibu katakan padaku beberapa hari yang lalu," Nak,,, tak perlu pacaran.. tak ada pacaran dalam islam". Saat itu juga aku pun menjawab tanpa ragu," saya ndak pacaran kog. insya Allah tidak akan." lalu ibu kembali berkata," nak, ibu pun pernah berumur sepertimu, ibu sempat pacaran. Nah ibu pun tahu kalok maya sedang dalam masa-masa tertarik dengan ikhwan. Nak, coba kurangi berkomunikasi dengan mereka. Memang rumit untuk maya. akan tetapi itu hal yang terbaik menurut ibu. Nanti maya akan dipertemukan lagi dengan mereka di waktu dan tempat yang layak. Bahkan maya akan lebih bahagia nanti". Huftttt aku tak bisa menjawab apa-apa. Sungguh. Saat itu aku hanya diam. Ya Allah... Ibu dan Ayah... begitu intensif melihat perkembanganku ternyata.. ya aku sangat menyadari. Aku adalah anak perempuan satu-satunya, dan pastinya mereka tak ingin aku membuat mereka kecewa. Aku mulai mencari tempat duduk yang rilex untuk mengatakan sesuatu pada mereka. " ayah , suami yang seperti apa untukku, yang kalian inginkan?", aku tahu pertanyaanku sangat to the point. Bahkan saat itu ayah dan ibuku sepertinya terhipnotis dengan pertanyaan luguku itu. Lalu perlahan mereka menjawab," Nak, yang menikah adalah maya dan silahkan maya cari yang maya senangi. Akan tetapi ini bukan waktunya nak.. yang kami takutkan. maya memikirkan sesuatu yang sudah jelas, telah disiapkan oleh Allah.. apakah maya tidak percaya bahwa apa yang Allah persiapkan untuk maya adalah yang terbaik untuk maya?". percakapan ini mulai seru. semakin banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan. Tetapi setelah kupikir-pikir, pertanyaan ini harus menjadi pertanyaan terakhir karena aku takut mereka menanyakan siapa ikhwan yang saat ini membuatku tertarik. Ya inilah pertanyaan terakhir yang kulontarkan saat itu," ibu, apakah mereka bisa merasakan hal yang sama seperti apa yang saya rasa. Dengan banyak kawan-kawan mereka yang jauh lebih dan lebih dibanding saya?". Ibu seketika tertawa kecil dan memandangku," Maya, kenapa anti tidak yakin. mereka juga memiliki hati. sama seperti maya. Maya sudah tahu kan bahwa hidup adalah pilihan. Sekarang yang terbaik adalah maya berusaha menjadi yang terbaik. Terbaik untuk dunia dan akhirat. Tak perlu ragu mereka memiliki rasa atau tidak. Karena pasti seorang ikhwan yang baik akan benar-benar menyeleksi calon istrinya, begitu nak". Hmm aku pun mulai tenang.. hehehe dengan wajah yang tersipu malu aku pun mulai beranjak dari tempat duduk ku untuk kembali ke kamar. Sebenarnya aku masih belum puas, akan tetapi biarlah komunikasi ini berhenti cukup sampai disini. Tiba-tiba ibu meneriakkan beberapa kalimat yang membuat ku tercengang," Maya tak perlu khawatir mereka akan pergi sejauh apapun itu, bila Allah sudah meletakkan secuil hati pada maya dan mereka. Mereka akan kembali, berkomunikasi dengan maya bahkan mereka akan berkomunikasi dengan ayah dan ibu juga". Seketika itu jantungku rasanya ingin lari sekencang-kencangnya. "Waduh ada apa ini??? Mengapa Ibu bicara begitu,,,", gumamku.Segera ku ambil diary yang kusimpan di bawah bantal dan segera ku ambil lembaran-lembaran tulisan yang kurasa tidak perlu, lalu ku buang. Ku hapus semua message di hp.Terutama akun facebook, tanpa pikir panjang, ku delete semua message. Apapun itu, semua jejak yang mungkin bisa mereka tahu.

Ya saat-saat itu masih melekat di ingatanku... Begitu banyak kekaguman yang saya tahu tentang dia. Bagaimana dia menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya hingga bagaimana dia menatap teman perempuan seangkatannya yang dia sukai. Kekaguman yang ya aku rasa bukan untuk memiliki akan tetapi untuk berbagi. Belajar bersama bagaimana memanage rasa kepada seorang ikhwan dengan Allah. Bagaimana menjaga pandangan dan tingkah laku . Terutama menjaga hati ketika aku berhadapan dengannya saat ia bersama teman perempuannya. Terkadang tanpa sadar, rasa itu mengacaukan separuh hidupku. Ketika aku harus menyelesaikan beberapa project yang aku rasa aku memerlukan bantuannya, tetapi dia menjauh. Akan tetapi tanpa kusadari dia tiba-tiba berada di dekatku. Ya Allah... menurutku ini bukan rasa yang aku ingini, karena aku tidak bisa mengendalikannya.. Apakah rasa akan bertahan seperti apa yang telah ibu katakan ?? Sebuah keragu-raguan yang selalu kutanyakan pada diriku sendiri.
 .

Kebersamaan yang Memudar

Aku masih saja menikmati duduk dalam kesunyian. Dengan music instrumental yang mengalun hingga menjalar di relung hatiku. Keyakinan ini mulai menguat saat aku mengingatnya. Mengingat beberapa hal yang membuatku tak ingin tenggelam dalam kepedihan. Ketika aku dan temanku melangkah menuju kantin, tempat parkir dan gazebo barangkali. Aku tahu dia melihat ku. Akan tetapi tidak menyapaku. Berulang kali sudah kupikirkan hal-hal positive , berulang kali juga aku mengecewakannya. Aku tahu, aku bukan seseorang yang penting. Tapi kami kenal dekat, apakah islam tak mengajarkan salam dan sapa??? Ya Allah... bila sedih ini bukan dikarenakan Engkau, maka ikhlaskanlah hatiku untuk tidak memperhatikannya... "Aku tahu yang mengetahui betapa penting dan istimewanya aku adalah Engkau..", gumamku menghibur diriku sendiri.

Kebersamaan yang secara tidak sadar telah menjadi kebiasaan, kini juga semakin menghilang entah kemana. Sebuah kronologi cerita yang kadang-kadang membuatku bingung. Saat ini, yang aku pertanyakan adalah, apakah aku salah sehingga kami tak lagi berkomunikasi ataukah sejuta kesibukan yang merenggut waktunya untuk berkomunikasi denganku. Dingin. Mungkin inilah julukan yang tepat antara aku dan ikhwan tersebut. Semua terasa begitu aneh. Bahkan sampai saat ini pun aku telah lupa kapan kami terakhir berkomunikasi dan membicarakan apa. 

Sehingga akhirnya, Aku begitu yakin meniatkan untuk menjaraki hubugan kami berkomunikasi ketika ia bersama teman perempuannya. Ya Allah ingin kukatakan, "ini bukan kalah,,, ini karena aku ingin dapatkan yang terbaik". Maka dengan segala ikatan niat yang menyatu, ku ikrarkan pada hatiku untuk tidak lagi memberi ruang rasa padanya. Cukup satu. Allah semata. Aku pun mulai menuliskan rencana-rencana apa saja yang harus aku lakukan ketika nanti aku mengingatnya. Semua kutuliskan dengan jelas. Semua rencana untuk selalu menyibukkan diri hingga aku dapat benar-benar melupakannya. Melupakan seorang ikhwan yang pernah dekat dengan saya. Seorang ikhwan yang tak pernah saya kagumi, akan tetapi sempat tersemat sebuah rasa perhatian yang telah ia beri padaku.

Hingga malam ini aku jelas sudah bulat janjiku pada diriku sendiri, untuk menganggapnya seorang ikhwan biasa yang pernah aku kenal. Tidak semudah membalikkan telapak tangan, semua hal yang pernah ada pada memory otakku telah ku hapus. Akan tetapi hati ini... Bisakah hati ini melupakannya??? setidaknya menyisihkan dengan hal-hal yang telah ku rencanakan.

Setelah itu aku menyegerakan untuk pulang. Akhirnya larut pun menemani mendung dihatiku kali ini. Menatap setiap pemandangan perjalanan dengan penuh makna. Bertabur bintang dan bulan yang tersenyum manis padaku. Pertanda apa yang aku putuskan adalah sesuatu yang benar

Kami semakin sibuk dengan kegiatan kami masing-masing.

Hahahha...saat-saat itu adalah saat terunik yang pernah kami komunikasikan. Ya Allah.. terimakasih. Bila saat ini rasa ini memang harus kuhapus, akan kuhapus karenaMu. ya karenaMu.. Bismillah.. Sudah larut. aku memutuskan untuk tetap berjalan pulang tanpa mengunjungi tempat indah lainnya. Menyelesaikan tulisan blog ku di rumah saja. Ku tatap remaja-remaja saling bercanda tawa dengan pujaan hatinya. Tapi sungguh dengan melihat hal tersebut tak membuat aku luruh untuk bisa menghapus rasa tersebut. Aku mulai berjanji pada Allah untuk setidaknya tidak berkomunikasi sesering biasanya.

Pagi telah tiba, dan seperti biasa aku harus melewati sebuah kebiasaan yang menantang. Sebuah kebiasaan sederhana yang telah menjadi perulangan dalam sekian lama hidupku. Kuliah pagi membuat ku harus tergesa-gesa melakukan semuanya. Segera kusampirkan tas dan pergi menggondol sejuta salam ikhlas dari ayah dan ibu tercinta. Bershalawat pada setiap hembus nafas. Asap mobil tak mengendorkan semangatku untuk selalu dan selalu mencari ilmu dan bersyukur atas nikmatNya. Kini perjalanan 1 jam itu telah mengantarkanku pada sebuah bangunan yang bertuliskan "Jurusan Sistem Informasi".

Ku akui, rasa semangat ini tak sepenuhnya ada karena diriku sendiri. Setelah dua semester di kader, pastinya masih ada rasa enggan untuk menjumpai sebuah komunitas yang tersenyum palsu. Segerombol insan yang selalu memerangi batinku. Semangat ini ada karena keluargaku, ya keluarga yang sangat menyayangiku. Mencintai dengan segenap pendidikan islami dan mengharumkan sebuah kebatinan yang nyaman akan dekat denganNya, dan yang satunya adalah semangat karena dia. Ikhwan yang sempat memberi semangat hingga menggebu. Ikhwan yang sempat memperhatikanku dalam diam. Meski sebuah komitmen telah terucap, hati ini takkan bisa terlupa. Ya aku rasa inilah proses. Menjadikan ku sebuah pribadi yang tidak lemah. Menjadikan sebuah pribadi yang dapat bersabar dan ikhlas. Ini semua untuk yang terbaik. Berkali-kali kutancapkan pada hati dan pikiranku bahwa yang kuingini adalah seorang ikhwan yang dapat memimpinku dengan baik kelak. Sehingga usaha ku untuk ikhlas dan sabar adalah sesuatu yang mudah, karena yang kuingini adalah sesuatu yang besar. Sebuah hadiah dari Allah yang hanya satu-satunya menjadi Hafid(penjaga) dalam keluarga. Aminnn

Meski ragu berseliweran di hati dan otakku, ada beberapa hal yang aku yakini. Bertemu dengannya di setiap sudut yang ada dikampus ataukah tidak bertemu merupakan suatu anugrah. Aku tetap saja jalan dengan santai . Kutemui beberapa dari mereka yang aku kenal. Tak ada yang istimewa disana, kecuali ketika aku duduk di Gazebo. Bercanda dengan kawan-kawan yang konyol. Membicarakan sebuah keluh kesah belajar dikampus.

Beberapa menit menikmati gurauan kecil bersama teman-teman, ada salah satu dari teman kami menghampiri gerombolan. Lalu ia berkata, " Eh, kenalan yuk dengan mas2 dan mbak2 disana. Mereka baik2 kog," sambil menunjuk ke arah tempat duduk persis di belakangku. Panggil saja temanku itu bernama Rani. Perempuan bermata sipit kelahiran tionghoa. Ia memang begitu antusias berkenalan dengan kakak-kakak angkatan. Aku menyukai semangatnya. Tanpa pikir panjang, kami mengikuti arah telunjuk rani untuk melihat kakak-kakak angkatan tersebut. Hmm... 2 sosok insan duduk membelakangiku dan yang satu saling berhadapan dengan dengan 2 insan yang membelakangiku. Alhasil, aku hanya jelas melihat muka kakak berperawakan besar yang berhadapan dengan 2 sosok yang membelakangiku. Lebih tepatnya saat itu aku melihat sepasang insan, yang satunya seorang perempuan dengan setelan krudung simple dan celana kain yang pas dengan tubuh mungilnya dan seorang laki-laki dengan baju cream berkerah. Kurasa mereka sedang makan.

Tak terasa matahari sudah berada hampir diatas kepalaku. Aku masih saja bersama gerombolan kawan-kawanku. Rani masih saja meneruskan cerocosnya menceritakan ketiga kakak tersebut dan mengajak kami berkenalan. " Itu namanya mas Rijal mbak Sekar dan mas Adit, angkatan 2007," Jelas Rani dengan ekspresi serius. Terang saja saat itu aku terkejut. Nama ikhwan yang jarang dibicarakan itu keluar dari mulut kawanku. " Loh mas sapa rani? mas Rijal angkatan berapa? mana?"  tanya ku dengan nada lantang dan cepat. Tak tahu mengapa sepertinya aku kebingungan. Aku merasa ini hanya mimpi. Rani masih menjelaskan dengan tenang hingga aku paham.

Ku toleh sekali lagi. "mereka masih makan, nanti saja kenalannya. Tidak sopan" jawabku memotong penjelasan rani. Sedikit kasar memang. Tetapi kurasa itulah jawaban yang rani inginkan dari mulutku. Lagi-lagi aku harus belajar bersabar. Ternyata memang benar, yang membelakangiku bersama teman perempuannya adalah mas Rijal. Seorang Rijal yang beberapa bulan yang lalu masih sempat berkomunikasi dan sekarang datar. Bahkan menyapa pun tidak. hmm... Ini tidak menjadi masalah bagiku. IAM the WINNER, gumamku dalam hati dan meninggalkannya, pergi menuju masjid menunaikan sholat duhur.

Kebersamaan bersamanya sangat lama. Tapi sebentar bagiku saat ini. Tak sejati, Tak haqiqi dan menyakiti. Bukan karena ia pergi, akan tetapi menghilangkan sebuah komunikasi. Harapan memang akan selalu ada didalam hati. Tetapi niatan untuk selalu lurus pada pencarian yang pasti dan meluruhkan segala kesedihan lebih berarti dan membuatku semakin lebih baik. Saat ini pikirku adalah aku harus bersyukur aku masih bisa melihatnya dalam diam, karena sebentar lagi sudah tidak akan dapat dipertemukan seperti biasa dikampus. Aku harus bisa bersyukur karena aku berani mengambil keputusan untuk menahan, bersabar dan diam. Mendung siang kali ini, bukan berarti hatiku pun ikut mendung. Akan tetapi, Sebuah haru kilauan langit akan komitmen yang harus aku jalani dan jalani hidup dengan indah meski rasa selalu menghantui jalanku.

Toga pun Tlah dilempar di Langit - Langit

Rasa kebahagian dan haru bercampur aduk dalam hatiku. Ketika melihat ikhwan tersebut bersama dengan teman-temannya mendapat gelar S1. Tak tahu rasa sedih apakah senang  yang ada dalam hatiku, saat itu aku hanya tersenyum lebar, berpelukan dan memberi selamat kepada teman-teman perempuannya. Berada disana, sebagai sie dekorasi memberi ku kesempatan untuk dapat melihat pemandangan indah ini. Sebuah kelayakan menjabat sebagai S1 adalah hal yang membanggakan setelah bergelut dengan kodingan-kodingan rumit yang tak ada seni didalamnya. Nilai-nilai cumloude yang telah mereka raih menjadikan mereka tak sia-sia berpusing-pusing selama 4 tahun merantau dari tempat tinggal mereka.

Aku melihat ikhwan tersebut datang menghampiriku bersama kawan-kawannya. Ia memiliki banyak sekali kawan yang baik. Kawan perempuan dan laki-laki yang menghampiriku dengan hati yang bersinar. Saat itu pun saya mengatakan, "selamat mas, jgn lupa kunjungi SI ya". Ikhwan itu pun menjawab, " trimakasih dek, semangat ya,". Sebuah kalimat yang masih aku ingat dan akan selalu aku ingat. Percakapan - percakapan sederhana dari minta traktiran,foto-foto hingga ingin kerja dimana merupakan suatu pembahasan seru kali itu bersama kawan-kawannya. Senang... senang sekali saat itu. Aku harus tersenyum,pikirku. Inilah mungkin sebuah moment terakhir yang aku harus menikmatinya. Terimakasih kakak-kakak ku. Terimakasih telah menyambutku dengan tangan kanan ketika aku baru membuka mata seperti apa SI dan ketika aku bingung apa yang harus aku lakukan. Waktu begitu sangat cepat. Kurasa baru kemarin saya bertanya tentang apa itu mengoding, tetapi saat ini aku melihat kalian melemparkan toga-toga di langit-langit yang mempesona kali itu.

Jam , menit dan detik pun berlalu. Moment itu selesai. Saat itu aku benar-benar tak tahu aku ingin menagis ataukah tidak. Aku hanya mengenang apa yang telah terjadi setahun yang lalu, bulan- bulan yang lalu bahkan menit-menit yang lalu saat mereka saling melempar toga keberhasilan mereka. Sebuah bingkai cerita yang sangat indah. Sebuah bingkai cerita terindah bersama ikhwan tersebut dan kawan-kawannya.

Kali ini aku sadar. Apa yang kawan-kawannya lakukan selalu membuatku semangat dan maju. Memberiku pelajaran untuk berani mengambil sebuah risiko. Saling share dan berdiskusi seperti apa di SI. Mengantar beberapa bulan yang lalu, aku menyadari bahwa aku masih seperti seorang bayi yang tak tahu apa-apa. Pelajaran ini dan itu susah menurutku. Tapi ikhwan tersebut selalu mendengar keluh kesah ku ketika aku berada dalam sebuah kerumitan. Berada dalam sebuah permasalahan, padahal ia sedang mengerjakan tugas akhirnya. Bahkan tidak jarang ia membantu mengerjakan beberapa tugasku. Ya Allah... mereka sudah tidak di SI. Terkadang aku takut aku tidak bisa mengerjakan semua yang ada di SI. Tidak semua teman ku bisa sabar seperti dia dan kawan-kawannya. Semoga keberhasilan menyertanya dan kesuksesan menyertaiku. Aminnn


Saat - Saat terhambar

Aku pun tak lagi menemui sosok ikhwan tersebut. Terlebih setelah ia tak lagi berada di kampus saya. Message pun juga tak pernah lagi ada darinya. Akun fb pun juga mulai ku minimalisir. Pernah suatu saat ia menanyakan kabar, saya pun tetap membalasnya dengan biasa. Sama halnya ketika saya dahulu berkenalan dengannya dan saya pun berusaha biasa setiap kali melihat fotonya bersama dengan kawan-kawan perempuannya. Saat itu yang saya yakini adalah, Allah akan memberikan yang terbaik untuk saya. Saya mau masuk surga atau tidak?? Itulah yang memubuat saya berpikir berkali-kali jika harus bersedih dan mulai mengetikkan message untuknya. Hahaha, kegalauan yang selalu menghampriku. Melemahkan hati dan imanku.

Hal ini berjalan tak cukup lama, mungkin karena aku telah terbiasa. Meski teringat ketika aku membuka akun fb, akan tetapi tak ada masalah dalam hatiku. Bukan berarti aku melupakannya. Aku hanya melakukan komitmen yang telah aku buat sendiri setahun yang lalu saat ikhwan tersebut masih berada disini. Masih berada di kampus ini. Belajar untuk ikhlas dan yakin akan kejutan dariNya untukku. Sudah tak ada lagi rasa ingin mencari dan ingin berkomunikasi lagi. Tak seperti bulan-bulan yang lalu. Saat aku masih mengharapkan ia kembali mengunjungi kampus karena ada beberapa urusan. Bahkan terkadang sekarang aku tertawa sendiri, ketika mendengar adik-adik angkatanku curhat masalah begituan.

Hambar... ya memang. Tak ada lagi rasa deg-deg an, tak ada lagi rasa malu-malu saat bertemu, tak ada lagi sikap berpura-pura biasa dihadapannya. Semua sungguh hambar. Melakukan rutinitas yang dapat menghidupkan segala mimpi-mimpiku. Tapi taukah engkau? hambar bukan berarti tidak enak. Aku pernah merasakan deg-degan, akan tetapi bukan lagi karena seorang rijal, tetapi karena aku belum maksimal dengan persiapanku menyongsong masa depan.

Inilah Saatnya...

Inilah saat-saat aku memberanikan diri untuk melangkahkan kakiku menapaki perjalanan yang lebih jauh. Menunaikan sebuah ibadah suci tuk melengkapkan sepenuh jiwa. Dengan bantuan ayah,ibu dan kakak mentor, aku mulai menulis proposal yang kusebut proposal cinta. Persiapan dan niat sudah membulat. Saat itu aku hanya berdoa, semoga pemimpin ku adalah pemimpin yang sabar dan selalu megkomunikasikan segala hal yang perlu didiskusikan. Aku telah berniat memasrahkan kepada orangtua dan kakak mentor untuk meletakkan pada siapakah lembaran proposal tersebut ditujukan. Waktu dan tempat telah dipersiapkan untuk memperkenalkan aku dan calon suamiku. Aku tak tahu persis seperti apa calon suamiku, karena saat itu aku mengatakan pada kakak mentorku untuk menujukan proposal tersebut pada seorang rijal yang benar-benar siap menikah. Sehingga aku hanya duduk manis menunggu kedatangannya di ruang tamu keluarga.

Sekilas dari jendela, aku melihat sosok itu kembali. Sosok yang mungkin memory ku sudah agak asing untuk mengenalinya setelah beberapa tahun tidak bertemu. Akan tetapi hati ini tak bisa melupakan sebersit komunikasi yang indah saat-saat itu. Aku hanya diam dan biasa. Meski ada sedikit canggung dan grogi, selalu kubasahi bibirku dengan asmaNya. Semoga akan ada jalan yang terbaik.

Setelah datang dan berhadapan, ternyata Ikhwan yang berani melamarku adalah temannya. Bukan dia. Hahahaha.. Bahkan Ikhwan dan dia pun awalnya tidak tahu bahwa aku lah yang memberanikan diri untuk menuju pelaminan. Diskusi dan diskusi berlangsung. Panitia penilai ikhwan pun mulai mengkorek habis tentang ilmu pengetahuan dunia dan akhiratnya. Semua berjalan secara serius dan kekeluargaan. Tapi taukah, hatiku masih berdegub dengan sangat kencang. Bayangkan saja, aku akan menikah dengan Ikhwan yang beberapa tahun yang lalu pernah aku kenal meski ia bukan mas rijal. Kalau aku boleh memilih, aku menginginkan seorang ikhwan yang belum mengenalku sebelumnya. Tapi inilah janji Allah. Tak ada alasan untuk menolak ikhwan tersebut. Pertanyaan- pertanyaan dariku dan panitia penilai telah dibabat dengan jawaban-jawaban yang matang dan istimewa. Memang aku dipertemukan lagi oleh mas rijal, akan tetapi sebagai teman pengantar ikhwan yang memberanikan diri untuk menikahiku. Sungguh... inilah keajaiban Allah. Skenario yang makhluk pun tak dapat menciptakannya, karena ini bermain hati. Memerankan sebuah ketundukan , kepatuhan dan pasrah akan niatan lurus yang suci.

Setelah semuanya selesai, mereka berpamitan pulang. Kami hening. Mungkin karena sebuah keterkejutan yang istimewa. enam hingga tujuh tahun tak bertemu dan sekarang dipertemukan dengan sebuah moment ta aruf.

Saat sholat, tak terasa sudah air mata membasahi pipiku. Hingga kini malam pun menjadi jingga. Sebuah kecerahan yang tak seperti biasanya. Seorang ikhwan yang aku kagumi kini berada di hadapanku dan mengantar kawannya yang dulu aku kenal untuk melakukan ta aruf. Sebuah gerbang pernikahan agung seumur hidupku. Apakah benar ini jodohku??? Sholat istikharah pun selalu kutunaikan untuk mengambil sebuah keputusan yang tidak sia-sia.
 
Ternyata di gerbang sebuah pernikahan pun setan tak henti-hentinya merusak keyakinan dan imanku. Setelah pikir panjang, kuputuskan untuk menikahi kawannya. Seorang ikhwan yang memberanikan diri untuk menikahiku. Aku sudah siap menikah, Ikhwan tersebut juga sudah siap menikah. Ilmu agama dan ilmu dunia pun bagus. Yang aku tahu dahulu hingga saat ini, ia masih selalu berusaha mengaplikasikan menjadi yang terbaik dengan kesabaran dan lain sebagainya. Hampir sama seperti apa yang aku tuliskan di proposal cintaku. Jadi tak ada alasan untuk tidak menerima lamarannya.

Saat kami (aku dan ikhwan yang melamarku) bertemu kembali, aku hanya menanyakan sesuatu yang sederhana ditengah pertanyaan-pertanyaan rumit yang dilontarkan ayah dan ibuku. "Anda benar-benar siap menikah akhi?". tanyaku. Lalu dia menjawab, "insya Allah saya siap dan bersungguh-sungguh,".

Aku berusaha menjawab dengan ikhlas dan karenaNya. Meski, sebenarnya hati ku masih berat saat kami bertemu kembali. Tidak lama , beberapa kemudian suasana pun menjadi ramai ketika aku menjawab dengan jawaban menerima pinangan dari seorang ikhwan yang pernah aku kenal dahulu. Senyum dari setiap insan yang ada di ruangan tersebut dan hela lega ikhwan tersebut.

Tak ada rasa bersalah dan sia-sia ketika aku memilih ikhwan tersebut. Mengenalnya adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan surgaNya. Meninggalkan ikhwan yang dulu kusukai adalah sebuah kesempatan untuk bersabar menghadapi bentangan jalan yang masih jauh dihadapanku. Yang pasti kurasa adalah, sesuatu yang indah adalah sesuatu yang pasti. Sama seperti saat ini , ketika aku dan suamiku menghabiskan waktu-waktu bersama di senja matahari lombok hari ini.